Refleksi Sejarah: Bendera dan Himne Papua

Advertisement

Refleksi Sejarah: Bendera dan Himne Papua

Minggu, 11 Juni 2023

 

 

1. Latar Belakang

Gejolak yang terjadi selama 56 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2019), sesungguhnya berakar pada konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai siapa yang dari aspek legalitas paling berhak memiliki Papua. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Bapak Proklamator Soekarno-Hatta menyatakan bahwa Indonesia yang dimerdekakan itu meliputi seluruh wilayah bekas penjajahan Hindia Belanda (Nederlands Indie), termasuk wilayah koloni Papua yang waktu itu dikenal dengan nama West Nieuw Guinea (WNG). Pihak Belanda berpolitik bahwa Papua memiliki karakteristik sosio-kultural dan geografis yang berbeda, supaya diberi “status tersendiri ataupun pada suatu saat nanti menentukan nasibnya sendiri”.

 

Pendapat tersebut sangat “misleading” (menyesatkan), karena Belanda sebenarnya melanggar konstitusinya sendiri, yaitu Proklamasi van Delden tanggal 24 Agustus tahun 1828 atas nama Raja Belanda Willem I.  Isi Proklamasi menyatakan bahwa wilayah koloni Nieuw Guinea mulai dari 141o Bujur Timur Greenwich di pantai selatan terus kearah barat, barat daya dan utara sampai ke semenanjung “Goede Hoop” (Tanjung Harapan) di Pantai Utara dinyatakan sebagai milik pemerintah Belanda baik secara “de facto maupun de jure”.(Freddy Numberi, Quo Vadis Papua,2013:hal.523).

 

Selanjutnya pemerintah Belanda memberikan otoritas kekuasaannya kepada pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Koloni Nieuw Guinea (Papua) adalah satu-satunya koloni yang memiliki pernyataan tertulis berupa proklamasi saat itu. Sedangkan koloni lainnya dibawah pemerintahan Hindia Belanda adalah limpahan dari VOC yang dikuasakan kepada pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.

 

Proklamasi 24 Agustus 1828 ini terjadi 117 tahun sebelum Indonesia merdeka. Kemudian lebih dikokohkan lagi dalam  Staatsblad van Nederlands-Indie Nomor 2 tahun 1885. (60 tahun sebelum Indonesia merdeka).

 

2. Politik Belanda Tentang Papua

Meskipun dalam KMB Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, namun Papua masih tetap dipertahankan dengan berbagai alasan. Presiden Soekarno merasa dikhianati, karena Belanda tidak menepati perjanjian KMB tersebut untuk mengembalikan Papua satu tahun kemudian (tahun 1950) kepada Indonesia sebagai pemilik wilayah Hindia Belanda yang dimerdekakan. Sepanjang tahun 1950-an, Presiden Soekarno mendesak PBB agar Belanda ditekan untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia, namun tidak berhasil. Setelah gagal di PBB, pada 5 Desember 1957, Bung Karno mengambil tindakan represif dengan mengusir semua warganegara Belanda serta perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia di nasionalisasi.(Justus M. Van Der Kroef, 1958:hal.1).

 

Sepanjang periode 1950-1959 secara sistematis Belanda semakin mengukuhkan kekuasaannya atas Papua. Belanda terus menebar janji tentang “zelf beschikking recht” (right to self-determination) bagi rakyat Papua. Hal ini dilakukan dengan memantapkan pengembangan sistem politik, partai politik dan pemerintahan beserta aparaturnya.(Papuans building their future, March 1961:hal.17). Belanda juga membangun infrastruktur fisik di Papua dalam rangka menumbuh kembangkan pola pikir, sikap dan tindak perilaku rakyat serta para elit politik Papua yang pro-Belanda agar semakin anti-Indonesia (politik devide et impera). Sejarah membuktikan bahwa persepsi tentang “Negara Papua” yang dibuat Belanda, berhasil mempengaruhi AS, dan PBB serta membuat pemerintah Indonesia ikut terperangkap di dalamnya dan menganggap “Negara Papua” dan atribut-atributnya adalah musuh yang harus dibasmi, padahal sumber konflik yang terjadi adalah mengembalikan koloni Papua (provinsi bukan negara) kepada pemiliknya yang sah yaitu Indonesia.

 

John Saltford dalam bukunya The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua,1962-1969-The Anatomy of Betrayal (2003,hal.8) mengatakan: “Oleh karena itu dibawah prinsip uti possidetis juris WNG milik Indonesia. Jika Belanda memberikan WNG kemerdekaannya, akan menjadi tindakan separatisme terhadap Indonesia”.

 

Belanda berhasil dalam politik adu dombanya dan tetap menguasai Papua sebagai salah satu provinsinya di seberang lautan. Pada tahun 1961 Belanda mempercepat langkahnya, dimana Gubernur Nederlands Nieuw Guinea, Pieter J. Platteel mengeluarkan keputusan Gubernur Nederlands-Nieuw Guinea No.362 Tahun 1961, tanggal 18 November 1961 perihal bendera Papua yang disebut LANDS VLAG van Nederlands-Nieuw Guinea. (Lembaran Daerah No.69 Tahun 1961). Ini adalah bendera tanah atau budaya, berupa bendera “Bintang Kejora”. Bukan NATIONALE VLAG atau yang disebut dalam Bahasa Inggris National Flag (Bendera Kebangsaan). Juga ditetapkan keputusan Gubernur Nederlands-Nieuw Guinea No.364 Tahun 1961, tanggal 18 November 1961 tentang HIMNE DAERAH Nederlands-Nieuw Guinea (Lembaran Daerah No.69 Tahun 1961). Ini adalah Himne Hai Tanahku Papua berupa lagu rakyat yang memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.

 

3. Harapan Ke Depan

Presiden ke-4, KH Abdurraman Wahid (Gus Dur), Bapak Pluralisme Indonesia, pada waktu meresmikan penggunaan nama Papua diawal millennium ke-3, tanggal 1 Januari 2001, dan mengijinkan pengibaran bendera “Bintang Kejora”, mengatakan kepada penulis (saat itu penulis menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan masih merangkap Gubernur Provinsi Irian Jaya): “Pak Freddy, apakah dengan mengembalikan nama Papua, akan berdampak kepada rakyat Papua untuk minta merdeka”? Penulis menjawab: “Bapak Presiden justru hal ini merupakan “obat mujarab”, suatu momentum untuk merebut “hati dan pikiran” orang Papua karena bendera “Bintang Kejora” dan “Himne Hai Tanahku Papua” sesuai dengan keputusan Belanda bukan merupakan simbol suatu negara melainkan lebih mewarnai budaya rakyat Papua, karena Belanda tetap ingin berkuasa di Papua sebagai titik tumpuannya di kawasan Asia. Dengan pengembalian nama Papua tersebut maupun penggunaan bendera “Bintang Kejora” dan “Himne Hai Tanahku Papua” akan memperkaya budaya bangsa Indonesia yang beragam ini serta bukti bahwa bangsa Indonesia melalui Bapak Presiden Gus Dur sangat peduli dengan saudara-saudaranya di Tanah Papua, ungkap penulis.

 

Kemudian, Gus Dur selesai meresmikan penggunaan nama Papua berkelakar “Gitu Saja Kok Repot”.

 

Dengan penjelasan di atas semoga masyarakat dapat mengerti bahwa bendera dan lagu tersebut adalah simbol kultural.  UU Otsus Pasal 1, butir H. mengamanatkan bahwa daerah boleh memiliki lambang dan lagu daerah sebagai simbol kultural yang tidak diposisikan sebagai kedaulatan.

 

Abraham Lincoln (1809-1865) berkata:”Anda dapat membodohi semua orang beberapa saat. Anda bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu; tetapi Anda tidak bisa membodohi semua orang sepanjang waktu” (Clinton Illnois,1858).

 

Laksamana Madya (Purn) Ambasador Freddy Numberi
(Tokoh Masyarakat Papua)